27 tahun berlalu semenjak pecahnya kerusuhan 98, Indonesia hari ini masih berkutat pada masalah lama, yaitu aspirasi rakyat yang terbentur dengan pendekatan keamanan negara. Aspirasi rakyat yang dimanifestasikan melalui aksi demonstrasi semestinya menjadi ruang ekspresi publik dan bentuk kritik sosial terhadap kekuasaan. Namun, alih-alih dijaga sebagai hak konstitusional dalam negara demokrasi, aksi-aksi demonstrasi kerap ditanggapi dengan tindakan represif aparat kepolisian.
Indonesia sendiri menjamin kuat
kebebasan berpendapat melalui UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang secara tegas
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.” Namun realitas lapangan sering kali berbeda. Peraturan
Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan sebenarnya sudah
menentukan prinsip proporsionalitas, legalitas, dan akuntabilitas. Dalam teori,
penggunaan kekuatan fisik oleh aparat hanya boleh dilakukan ketika situasi
mengancam keselamatan jiwa atau ketertiban umum tetapi dalam praktiknya,
prinsip ini kerap diabaikan. Aparat lebih memilih pendekatan keamanan negara
dibanding perlindungan hak sipil. Demonstrasi dianggap sebagai ancaman
stabilitas, bukan aspirasi demokratis. Polisi yang seharusnya menjadi pengayom
masyarakat, justru menjadi tameng kebijakan elite politik. Pola ini
menunjukkkan kecendrungan aparat untuk mempertahankan kepentingan status quo.
Gelombang demonstrasi besar yang
muncul akhir-akhir ini tidak muncul begitu saja, hal ini menjadi potret nyata
krisis yang melibatkan representasi politik di negeri ini. Kekecewaan
masyarakat utamanya rakyat kecil telah sampai pada titik didih terhadap Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang dinilai gagal sebagai representasi suara rakyat.
Tidak mengejutkan ketika demonstrasi meledak di berbagai kota. Rakyat merasa
dikhianati, DPR yang seharusnya menajdi corong aspirasi, justru berubah menjadi
ruang transaksional tempat kebijakan lahir untuk merka yang punya kuasa.
Kematian seorang pengemudi ojek
online akibat dilindas kendaraan taktis saat gelombang unjuk rasa di Jakarta
pada 28 Agustus 2025 menjadi petunjuk bahwa betapa jauhnya aparat kepolisian
dari tugasnya. Prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan telah
dilanggar. Penggunaan gas air mata berlebihan, penagkapan sewenang-wenang
terhadap peserta aksi, kekerasan fisik terhadap demonstran, hingga pembubaran
paksa denagn cara yang membahayakan nyawa, semuanya menunjukkan bahwa polisi
telah bergeser dari pelindung rakyat menjadi alat represi penguasa.
Salah satu penyebab utama tindakan
represif sulit dihilangkan dari aparat kepolisisan adalah karena budaya
impunitas yang masih mengakar di tubuh instansi tersebut. Kasus demi kasus
kekerasan polisi dalam pengamanan demostrasi kerap berakhir tanpa kejelasan.
Investigasi dilakukan tertutup, sanksi jarang diberikan, dan akuntabilitas publik
diabaikan. Siklus ini memupuk ketidakpercayaan publik terhadap institusi
negara. Pada saat yang sama, represivitas memantik kemarahan kolektif yang
memicu aksi massa yang baru, yang lebih besar, lebih emosional, dan lebih
berpotensi ricuh menjadikannya lingkaran setan kekerasan yang akan membunuh
demokrasi di Indonesia.
.Kematian Affan Kurniawan seorang
pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis menjadi pengingat keras
bagi bangsa ini. Ketika hak untuk menyampaikan pendapat dihadakan pada ancaman
kekerasan bahkan kematian, maka bangsa ini telah mundur dari cita-cita
reformasi yang menjanjikan kebebasan dan keadilan. Hal ini juga menjadi
pengingat untuk para penguasa, jika penguasa tak mau mendengar suara rakyat, maka
rakyat yang akan menemukan cara untuk didengar. Dan ketika cara itu meledak
menajdi kemarahan kolektif, tidak ada gas air mata, tidak ada water cannon, tidak ada pentungan atau
kendaraan taktis yang bisa membendungnya.
Dalam situasi ini, mahasiswa
memiliki peran penting dan mendesak. Mahasiswa yang selalu dicatat sejarah
sebagai garda terdepan dalam perjuangan perubaham sosial politik di Indonesia,
dari Sumpah Pemuda 1928 sampai gerakan reformasi 1998, dan kini tantangan yang
dihadapi tidak kalah berat, yaitu bagaimana menyelamatkan demokrasi dari
kematian yang perlahan namun pasti ini.
Tentunya mahasiswa
dapat menjadi agen edukasi politik dengan menyebarkan kesadaran tentang hak
konstitusional, mekanisme demokrasi, dan partisipasi politik kepada masyarakat
yang belum mengetahuinya. Mahasiswa juga perlu membangun jejaring solidaritas
yang kuat dan luas bukan hanya antar mahasiswa tetapi juga dengan elemen
masyarakat seperti buruh, petani, nelayan, dan kelompok-kelompok marginal
lainnya. Selain itu, mahasiswa dapat memanfaatkan jalur-jalur legal formal
untuk memperjuangkan perubahan, seperti mengadvokasi reformasi struktural
instansi kepolisian misalnya, dan lain sebagainya. Karena perjuangan perubahan
bukan hanya melalui demonstrasi di jalan, tetapi juga tentang kerja-kerja
advokasi yang sistematis dan berkelanjutan.
Demokrasi tidak dipertahankan dengan pentungan. Demokrasi
hidup ketika negara memilih mendengar, bukan menaklukkan.